Seperti biasa, beberapa bulan ini, saya seringkali menunaikan shalat maghrib di luar Desa. Karena, setiap pukul 17.00 WIB sampai Maghrib, saya memiliki agenda mengajar/les di rumah warga yang berada di luar Desa. Sore ini, saya menunaikan shalat maghrib di masjid terdekat dari tempat saya mengajar/les. Kali ini, saya agak telat, sebab, Imam sudah memasuki rakaat kedua saat saya datang. Oleh karena itu, saya pun langsung cepat-cepat mengambil air wudhu dan menjadi makmum masbuk di sana.
Saat mengambil air wudhu, saya melihat ada seorang pemuda yang sedang berwudhu juga. Awalnya, saya tidak terlalu peduli, namun, selesai shalat, saya baru menyadari bahwa ada yang janggal dengan pemuda itu, Dia berwudhu sangat lama. Sampai dengan shalat dan dzikir selesai, Dia masih belum selesai wudhu juga. Saya perhatikan, Dia berwudhu dengan pelan-pelan/lambat sekali. Sepertinya, Dia ingin wudhunya sempurna, sesuai dengan tuntunan syariat.
Hal itu saya akui merupakan sesuatu yang sejatinya bagus, namun, saya menilai bahwa hal itu berlebihan, apalagi sebab berwudhu tersebut Dia sampai tidak ikut menunaikan shalat berjamaah dengan yang lain. Tetapi, walaupun lama, saya melihat bahwa Dia tidak memubadzirkan air, karena, saat berwudhu, di setiap tahapan Dia mematikan kran. Namun, hal itu tetap saja menurut saya sedikit keliru. Saya tidak bermaksud untuk menghakimi/menyalah-nyalahkan pemuda tersebut ya. Saya hanya ingin meluruskan dan mengajak kepada khalayak untuk belajar dari kejadian yang saya lihat ini.
Syariat memang perlu/wajib di jalankan oleh setiap/masing-masing muslim. Tetapi, menjalankan syariat mestinya tidak serta merta menjadikan kita mengabaikan syariat yang lain, apalagi sampai meninggalkannya. Dalam konteks apapun, ada baiknya kita selalu berusaha menjalankan syariat dengan proporsional (moderat, sedang). Artinya, tidak berlebihan dan selalu mengupayakannya agar sesuai dengan kondisi/keadaan yang terjadi di sekitaran.
Dalam konteks ini, ketika berniat untuk melaksanakan shalat berjamaah, tetapi posisinya kita sudah telat, misalnya imam sudah memasuki rakaat kedua atau terakhir, ada baiknya wudhu tersebut sedikit kita percepat. Apakah kalau sedikit lebih cepat seperti ini bisa mengurangi keafdolan dan membuat ketentuan berwudhu kita menjadi terganggu? Tentu saja jawabannya tidak, dalam waktu yang relatif singkat pun sejatinya kita masih bisa berwudhu sesuai dengan rukun, sunnah atau syariat.
Shalat berjamaah merupakan ibadah yang sangat di anjurkan untuk di laksanakan/istiqomahkan oleh setiap muslim. Sebab, pahalanya lebih besar sebanyak 27 derajat di bandingkan dengan shalat sendirian (munfarid). Tidak sempat melaksanakan shalat berjamaah karena sakit, dalam pejalanan dan seterusnya mungkin tidak masalah, tetapi, tidak sempat melaksanakan shalat berjamaah karena terlalu lama berwudhu dan seterusnya (padahal seseorang sudah berada di lingkungan masjid) adalah sesuatu yang di luar dugaan.
Namun, dalam hal ini kita tidak bisa memaksakan kehendak/tindakan seseorang. Oleh karena itu, berusaha menasehati, saling mengingatkan dan mengambil pelajaran dari kehendak/tindakan tersebut merupakan sesuatu yang bisa di jadikan sebagai pilihan. Ini merupakan satu-satunya tindakan bijak dan cerdas yang bisa kita lakukan. Mudah-mudahan, pembaca sekalian bisa mengambil kebaikan dan kemanfaatan.
Wallahu ‘alam
Ega Adriansyah