Beberapa waktu lalu, saya membaca salah satu informasi dari media pemberitaan bahwa Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta berencana akan menerbitkan sebuah aturan untuk mengatur pemisahan posisi duduk (antara laki-laki dan perempuan) di kursi angkutan umum (khususnya angkot). Rencana ini merupakan tanggapan dari Dishub DKI atas banyaknya kejadian/laporan dari masyarakat berkenaan dengan kasus pelecehan seksual yang kerap terjadi di angkot.
Dalam hal ini, mayoritas masyarakat mendukung rencana yang akan di realisasikan Dishub DKI Jakarta, sebab, aturan itu memang mendesak dan sangat di perlukan. Masyarakat menilai, aturan ini sepertinya dapat menjamin keamanan dan kenyamanan mereka saat menaiki angkot. Untuk pengaturan posisi tempat duduk yang lebih spesifik, saya pribadi kurang mengetahui secara detail, namun, kalau boleh komentar, aturan ini memang cukup bagus.
Walaupun tidak semua elemen masyarakat menilai seperti itu, tetapi harapan saya, mudah-mudahan aturan ini dapat berjalan dengan lancar dan nantinya mampu memberikan keefektifan tersendiri untuk menekan angka kriminalitas/pelecehan seksual yang marak terjadi di angkutan umum/angkot. Namun, saya sedikit heran, mengapa aturan-aturan yang mengatur perilaku/aktivitas masyarakat di Indonesia semakin banyak saja ya?
Saya merasa ada yang tidak beres di sini. Setelah membaca salah satu postingan Buya Husein Muhammad di Facebook, akhirnya saya mendapatkan satu kesimpulan yang menjadi jawaban keheranan saya. Semakin sedikit aturan merupakan indikasi dari semakin baiknya moralitas masyarakat pada suatu tempat, sebaliknya, semakin banyak aturan merupakan indikasi dari semakin buruknya moralitas masyarakat pada suatu tempat.
Jadi, moralitas yang semakin rendahlah yang menjadi penyebabnya. Moralitas masyarakat kita semakin bobrok. Sehingga, berbagai kejadian yang tidak terpuji, bersifat merugikan dan seterusnya semakin marak terjadi. Selain membuat aturan-aturan, seharusnya kita juga memerlukan sebuah upaya untuk memperbaiki moralitas masyarakat (entah melalui pendidikan, dll). Karena, moralitas yang semakin baik dapat menciptakan suatu kondisi masyarakat yang berakhlak dan jauh dari kecenderungan untuk berbuat maksiat (keluar dari norma, nista, jahat, dsb).
Wallahu ‘alam
Ega Adriansyah
Kubangdeleg, 13 Juli 2022, 12.53 WIB